RCCC UI Gelar Seminar “Conservation Biology in 21st Century and Sustainable Future”
Pada Selasa (03/07), Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI) menggelar seminar bertajuk “Conservation Biology in 21st Century and Sustainable Future” di Perpustakaan UI, kampus Depok. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman global dan komprehensif seputar konservasi lingkungan dari berbagai narasumber akademisi dari berbagai negara. Pada seminar ini, hadir Prof. Randall Kyes, Ph.D. (peneliti di University of Washington, AS), Prof. Chris Margules (peneliti di James Cook University, Australia), dan Dr. Grace Wong (peneliti di Center for International Forestry Research [CIFOR]) sebagai pemateri.
Seminar sesi pertama dimoderatori oleh Dr. Anom Bowolaksono (peneliti di UI dan University of Washington) dan diisi oleh Prof. Randall dengan materi “Conservation Biology at the Human-Environment Interface: Global”. Dalam sesi ini, Prof. Randall menyatakan bahwa kita membutuhkan lebih dari ribuan orang untuk menjadi kader konservasi di setiap region. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan media sosial yang saat ini tengah diminati oleh banyak kalangan.
Selanjutnya sesi kedua diisi oleh Prof. Chris yang membawa materi “Systematic Conservation Planning” dengan dimoderatori oleh Prof. Jatna Supriatna (Kepala RCCC UI). Prof. Chris menguraikan bahwa saat ini kita membutuhkan manajemen seluruh data-data terkait lingkungan yang terintegrasi. Kasus kebakaran hutan di Riau yang terbengkalai dari tahun ke tahun adalah salah satu dampak dari belum baiknya pengelolaan manajemen data-data terkait hal tersebut.
Sesi terakhir, yaitu sesi ketiga, diisi oleh Grace dengan materi “Biodiversity and Economics”. Dr. Grace menjelaskan tentang kondisi kelapa sawit di Indonesia dan REDD+. Satu hektar lahan kelapa sawit bisa berharga US$ 6.000 dan di Indonesia terdapat sepuluh juta hektar lahan kelapa sawit yang hampir sama luasnya dengan Pulau Jawa. Hal inilah yang kemudian menyebabkan pemerintah daerah cenderung tergiur dengan keuntungan yang diberikan oleh perkebunan kelapa sawit, padahal terdapat sejumlah kerugian yang bisa ditimbulkan oleh pilihan ini. Yang pertama terkait dengan potensi kalah perang dagang dengan Brazil yang punya lahan jauh lebih luas dari Indonesia untuk kelapa sawit. Ini berarti Brazil memiliki kekuatan dalam pengendalian harga. Berikutnya adalah dari perpektif lingkungan. Pembukaan lahan untuk kelapa sawit bertentangan dengan prinsip konservasi ekosistem.
Sebagai penutup acara, Prof. Jatna menyimpulkan tiga pemaparan sebelumnya. “Ada banyak sekali pengetahuan terbaru seputar konservasi lingkungan yang didapatkan hari ini dan diharapkan bisa menjadi pemicu bagi ilmuwan maupun praktisi di Indonesia untuk menindaklanjuti langkah-langkah tanggap berikutnya,” tutur Prof. Jatna. (IB)
- Login to post comments