Cerita Tiga Kakak-Adik Lulusan Doktor UI
Lahir dari pasangan Agoes Soejono dan Mien Soejono, Donny Tjahja Rimbawan (49), Firman Kurniawan (44), dan Guntur Freddy Prisanto (39) adalah tiga saudara kandung dari lima bersaudara yang secara berturut-turut berhasil lulus dari program doktor di UI. Janjian? Tidak. Tiga orang dari lima bersaudara ini ternyata memang ‘hobi’ bersekolah.
Donny Tjahtja Rimbawan yang merupakan anak kedua adalah doktor yang lulus pertama. Ia lulus sebagai Doktor Ilmu Politik pada tanggal 15 Januari 2013 dengan judul disertasi “Hubungan Negara dan Pengusaha di Era Reformasi: Studi Kasus Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)”. Lima bulan berselang, Firman Kurniawan Sujono yang merupakan anak keempat dari lima bersaudara sekaligus pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, menyusul menjadi Doktor Filsafat pada 18 Juni 2013 dengan judul disertasi “Manusia dalam Masyarakat Jejaring: Telaah Filsafat Pemikiran Manuel Castells Tentang Abad Informasi”. Satu bulan kemudian Guntur Freddy Prisantosang bungsu juga dinyatakan lulus sebagai Doktor Filsafat pada 20 Juli 2013. Guntur lulus dengan disertasinya yang berjudul “Market Justice: Kritik atas Determinasi Pasar Neoklasik”.
Kegemaran kakak-beradik ini untuk bersekolah dibuktikan dengan seringnya mereka bolak-balik kuliah di berbagai jenjang dan ilmu. Donny misalnya, walaupun ia menyelesaikan pendidikan doktoral di bidang ilmu politik, ia sebelumnya juga lulus dari S1 Akuntansi Universitas Brawijaya kemudian melanjutkan S2 Akuntansi dan Ilmu Politik di UI. Tak berbeda jauh, Firman juga merupakan lulusan Kehutanan IPB, sebelum ia melanjutkan S2 Ilmu Komunikasi UI dan melanjutkan ke Ilmu Filsafat UI. Begitupun dengan Guntur yang menyelesaikan pendidikannya di S1 Manajemen UI serta S2 Ilmu Filsafat UI dan S2 Ilmu Hukum UGM.
Sepeninggal ayah mereka pada tahun 1977, Mien, sang ibu yang pada saat itu masih berusia 36 tahun harus menghidupi lima anaknya seorang diri. Walaupun dengan segala keterbatasan, Mien tetap mendukung pendidikan anak-anaknya. Setiap tahun ajaran baru, Mien terpaksa berutang di toko buku dan alat tulis agar anak-anaknya bebas memilih kebutuhan sekolah mereka. Beruntung bahwa Mien kenal baik dengan pemilik toko tersebut.
Firman mengaku, saat ia kecil tidak banyak pilihan yang ada. Misalnya saja, keterbatasan bahan bacaan membuat ia kerap membaca buku pelajaran kakaknya yang tingkat kelasnya lebih tinggi. Firman yang punya kegemaran membaca di gudang rumahnya itu, juga suka mengetik kembali ensiklopedi yang dipinjamkan teman ibunya. Buku-buku sastra juga jadi santapan sehari-hari sang Firman kecil.
Ibunya sendiri sebenarnya tidak pernah memaksa ia dan saudara-saudaranya belajar. Motivasi belajar seperti muncul begitu saja seiring dengan keterbatasan mereka pada akses-akses belajar. Firman juga bercerita, ia terbiasa belajar sehabis pulang sekolah sampai hampir tengah malam. Hal tersebut lantas membuat ibunya khawatir. Mien kerap kali memberi Firman sejumlah uang agar ia dapat bermain di luar dan berhenti belajar. “Ibu nggak pernah nyuruh saya belajar, malah nyuruh saya berhenti belajar,” kenangnya sambil tertawa.
Untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya, Mien Soejono berjualan bermacam-macam barang dagangan, mulai dari bahan pakaian, sepatu, tas hingga keripik kentang. Keripik kentang dijual lewat rumah makan-rumah makan maupun jaringan kenalannya. Usaha itu terus dijalani walaupun pada akhirnya sang ibu bekerja sebagai pegawai klerikal di kantor notaris. Usaha keras ibunyalah yang mengantar Firman dan saudaranya berhasil mencicipi pendidikan tinggi.
Usaha Mien tak sia-sia karena kini ia tinggal menuai hasilnya. Anak-anaknya telah berhasil di bidang yang diminatinya. Saat ini Donny, akuntan yang aktif di salah satu partai politik tersebut, mengikuti jejak ibunya dengan mendorong putra-putrinya untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Pun halnya dengan Firman dan Guntur, yang terus mendampingi putra-putrinya menggapai cita-cita mereka sesuai minatnya. (KHN)
- Login to post comments