Mengapa Korupsi Kian Menjamur?
Fenomena korupsi bukan lagi fenomena yang asing kita dengar saat ini. Hampir semua media massa telah memberitakan fenomena ini dalam banyak kasus. Tak hanya terkait dengan politik partai, fenomena ini juga menjangkiti banyak lini masyarakat, termasuk di bidang perpajakan bahkan pendidikan.
Korupsi berbeda dengan pencurian biasa. Korupsi selalu terkait dengan ranah publik yang kemudian menyebabkan kerugian negara. Karena berhubungan dengan ranah publik, maka yang dapat melakukan korupsi adalah pejabat publik. Lantas apa sebenarnya yang membuat korupsi menjadi kian marak?
Pakar psikologi politik dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof. Hamdi Muluk mengatakan bahwa semakin besar otoritas seorang pejabat publik, maka kemungkinan melakukan tindakan korupsi akan semakin besar. Lebih lanjut ia mengatakan, korupsi dapat terjadi antara lain karena tidak adanya pengawasan ketat.
Saat ini, lingkungan sosial cukup banyak memberikan dorongan dan penguatan untuk melakukan korupsi. Pengawasan yang tidak ketat membuat orang tidak takut melakukan korupsi karena kemungkinan kecil akan dipidanakan. Terlebih lagi, saat tingkah laku korupsi telah menjadi budaya dan semua orang dalam lingkungan sosial tertentu melakukannya. “Tentunya (korupsi) ini bisa diperkecil, kalau mekanisme, transparansi, akuntabilitas pengawasan makin ketat,” ujar Hamdi.
Korupsi juga dapat direm dengan integritas moral lewat perasaan bersalah yang timbul saat seseorang melakukan tindakan di luar moralnya. Sayangnya, kata Hamdi, banyak orang yang saat ini tidak dapat mempertahankan integritasnya. Kemudian untuk meredam perasaan bersalah yang muncul, seseorang melakukan justifikasi lewat pembenaran-pembenaran. “Toh orang lain pada ngambil, sudah tradisi. Pembenaran yang lama-lama membuat rasa bersalah hilang,” kata Hamdi.
Selain itu, ada pula Teori Permainan (Game Theory) dalam tindakan korupsi. Menurut Hamdi, korupsi politik selalu berjejaring, dan tidak pernah dilakukan oleh pemain tunggal. Jejaringnya antara lain terdiri dari pembuat kebijakan, pihak yang menjalankan dan mengawasi. Jejaring korupsi sulit diputus jika satu sama lain dalam jejaring itu saling mempercayai satu sama lain. Mereka akan bekerja sama dengan saling menutup-nutupi perilaku mereka. Mata rantai jejaring tersebut dapat terputus jika ada yang membocorkan rahasia atas dasar sakit hati.
Kemudian, terkait dengan korupsi politik yang terjadi pada pemilihan umum, dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI Donni Edwin, M.Sc. mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena lemahnya pengawasan yang ada. Selain itu, tingginya ongkos politik yang harus dikeluarkan.
Donni memberi contoh pencalonan anggota legislatif. Tingginya biaya politik mengakibatkan anggota legislatif terpilih mengambil kesempatan dari otoritasnya untuk melakukan korupsi. “Umumnya tiap caleg membutuhkan Rp 5 miliar, bahkan di Jakarta angkanya mencapai Rp 200 milyar sampai Rp 1 triliun,” ungkap Donni.
Pendidikan politik, lanjut Donni, merupakan salah satu cara meredam perilaku korupsi. Pendidikan politik harus dilakukan sedini mungkin dengan contoh-contoh yang konkret kepada anak-anak. Pemilih, menurutnya, juga harus lebih cerdas untuk dapat menciptakan situasi demokrasi yang baik. “Pemilih yang baik tidak akan memilih calon yang tidak baik atau terindikasi korupsi. Pendidikan politik yang baik mencegah politik berbiaya tinggi,” Donni menjelaskan.
Pada akhirnya, korupsi adalah musuh yang harus diperangi secara bersama-sama. Pemerintah, organisasi masyarakat sebagai kelompok penekan, juga setiap individu dalam masyarakat memiliki perannya masing-masing. Pengawasan terhadap mereka yang menjabat memang perlu ditingkatkan. Namun, menjaga diri sendiri dari berbuat korup adalah cara paling efektif untuk mereduksi korupsi. (KHN)
- Login to post comments