Tiga Ahli Bicara Masa Depan Demokrasi
Suasana siang itu terasa panas saat tiga ahli membicarakan masa depan demokrasi di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Selain meninjau kembali pelaksanaan demokrasi, mereka menilai, demokrasi di Indonesia perlu diselamatkan.
Isu terkait polemik demokrasi dan teori politik itu diperbincangkan dalam “Seminar dan Diskusi Masa Depan Demokrasi di Indonesia” yang digelar Departemen Filsafat FIB UI bersama Komunitas Filsafat (Komafil) UI, Rabu (23/10). Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Dr. F. Budi Hardiman, menyorot demokrasi sebagai sesuatu yang lumpuh karena praktik oligarki. “Yang terjadi, demokrasi tidak riil dan matang. Orang publik bekerja untuk kepentingan privat. Oligarki memainkan demokrasi untuk kepentingan sendiri,” ungkap penulis buku Filsafat Fragmentaris, Kritik Ideologi, serta Diskursus tentang Masa Teror dan Trauma itu. Ia mengajak berpikir ulang, apakah saat ini Indonesia sudah berada dalam demokrasi.
Sementara itu, Dr. Donny Gahral Adian, dosen Filsafat FIB UI, berbicara seputar demokrasi, substansi, dan konstitusi. Donny mempersoalkan teori politik yang berimplikasi terhadap masa depan demokrasi. “Sebab itu, perlu memperhatikan teori politik. Jangan sampai, di tangan teori, kita jadi kehilangan masa depan demokrasi. Tapi, selama TNI menjaga independensi, polisi bersikap netral, pasar otonom tidak mengkoloni subsistem, masyarakat sipil kuat dan solid, selama itu pula demokrasi masih ada,” kata penulis buku Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal tersebut.
Diskusi yang dimoderatori Taufiq Rahmat Hidayat, Ketua Komafil UI, menjadi lebih kaya ketika membahas demokrasi dari perspektif feminisme. Dr. Gadis Arivia, dosen Filsafat FIB UI yang juga penggerak feminisme di Indonesia, menawarkan alternatif demokrasi partisipatoris, yaitu demokrasi tidak bertumpu pada partai yang saat ini sudah kehilangan trust masyarakat. Menurut Gadis, para feminis melihat model demokrasi ini paling baik untuk menumbuhkan decision making power di tingkat nonelit. Model ini juga melibatkan secara langsung mereka yang terpinggirkan. “Bagaimana memasukkan tubuh perempuan di dalam wacana politik sehingga dapat melakukan engendering dan lebih inklusif,” ungkap pendiri Yayasan Jurnal Perempuan itu. Tuntutan wacana demokrasi dan feminisme, kata Gadis, adalah membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemikiran dan cara berada yang baru. Di samping itu, perlu ada upaya demokratisasi demokrasi guna menjembatani pemikiran dan menghubungkan kelompok yang terpinggirkan.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu ditutup dengan pernyataan menarik dari Donny. Baginya, tidak berpikir adalah dosa terbesar demokrasi. Karena demokrasi, semestinya, terus berpikir. (DPN)
- Login to post comments