Hari Kedua Series Seminar Dewan Guru Besar UI: Tiga Tokoh Nasional Harapkan Indonesia Jadi Bangsa Pemenang
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, bersama Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, dan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, menyorot masa depan Indonesia dan tantangan yang dihadapi Indonesia menuju bangsa pemenang. Ketiga tokoh tersebut seide dalam hal mengoptimalkan segala potensi yang ada di Indonesia demi kesejahteraan bangsa.
Ketiganya menyampaikan gagasannya di hari kedua Series Seminar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) di Aula Fakultas Kedokteran UI, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (27/11). Acara tersebut menghadirkan sejumlah tokoh nasional yang memaparkan pokok pikirannya tentang kepemimpinan bangsa Indonesia ke depan.
Prabowo menyayangkan banyak kekayaan Indonesia justru mengalir ke luar negeri dan keuntungannya tidak kembali ke Indonesia. Kondisi demikian telah terjadi selama belasan tahun. Merespons kenyataan itu, Prabowo mendorong adanya industri pengolahan nasional yang bisa mengelola komoditi seperti nikel, batubara, bauksit, dan minyak bumi. Menurutnya, apabila industri pengolahan ada di dalam negeri, kemungkinan bagi Indonesia untuk mengantongi nilai tambahan lebih besar dibandingkan apabila sumber daya alam mentah dibiarkan lepas ke pasar dunia. Ia mencontohkan, gas alam yang dihargai 9 dolar di pasar dunia nilainya bisa mencapai 17 dolar apabila telah diolah di dalam negeri.
Oleh sebab itu, Prabowo berharap ada kehendak politik (political will) pemangku kepentingan untuk membuat pengolahan di Indonesia. “Ini contoh kekayaan yang tidak kita rawat. Kita punya kekayaan, namun tidak dikelola dengan baik. Yang kita cetak adalah utang, bukan kesejahteraan sosial,” ungkapnya.
Gita Wirjawan juga mengusung semangat agar orang Indonesia jangan menjadi kuli, melainkan inovator. “Persoalannya, kita tidak bisa optimalkan sumber daya alam kita,” katanya. Gita menambahkan, penting untuk meningkatkan produk dari Indonesia agar menjadi aset yang membawa negara ini sebagai negara pemenang. “Ini harus kita rawat, dan kita juga ditopang oleh kekayaan pluralisme,” sebut Menteri yang juga pengusaha kelahiran Jakarta, 21 September 1965 tersebut.
Lebih lanjut, Prabowo mengusulkan agar pemerintah lebih sigap membantu rakyat yang lemah ekonomi. Saat pasar bebas bergulir, dengan memakai prinsip ekonomi kerakyatan, pemerintah harus membela rakyatnya. Meskipun mengaku dirinya tidak anti pasar bebas, Prabowo menekankan bahwa pemerintah tidak boleh menyerah ke pasar bebas. “Pemerintah tidak boleh jadi wasit, harus ikut main. Pemerintah bertanggung jawab melindungi rakyat yang lemah. Yang kaya, silakan lari, yang mampu silakan jalan. Namun, yang di bawah garis kemiskinan, kewajiban pemerintahlah untuk menolong. Yang kita lihat, ekonomi yang lepas tangan,” ungkap Prabowo.
Sementara itu, Dahlan Iskan memiliki gagasan bahwa Indonesia butuh tempat untuk mengaplikasikan kepintarannya. Dahlan mengatakan, Indonesia pernah hampir menjadi bangsa indusri, lalu mundur jadi bangsa pedagang. Namun, semangat itu kini sudah tak ada. Padahal, menurut Dahlan, untuk menjadi bangsa yang kompetitif, yang diperlukan bukan hanya bisa lulus kuliah. “Harus bisa praktikkan ilmunya di industri. Intensif aplikasi keilmuan, mendapatkan nilai tambah, keunggulan, sumber daya alam bukan hanya dari sistem pendidikan,” ujarnya.
Dengan gagasan ekonomi kerakyatannya, Prabowo mengharapkan uang akan terkumpul di desa, tidak hanya terkumpul di Jakarta. “Emangnya salah kalau uang rakyat kembali ke rakyat?” tanya Prabowo dalam paparannya. Prabowo mengajak rakyat untuk tidak menyerahkan negara ini kepada orang yang merampok negara. Secara tegas, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia harus mencapai kehendak nasional (national will). “Jangan mau jadi bangsa yang lemah, yang ditertawakan tetangga-tetangga kita. Indonesia bukan negara kere,” tutur putra begawan ekonom Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo, itu.
Senada dengan Prabowo, Dahlan juga menginginkan rakyat petani dan peternak agar mengikuti gagasan yang diajukannya tentang pertanian atau peternakan komunal. Dengan cara itu, menurut Dahlan, usaha yang digarap komunal akan menuai hasil lebih besar dan menguntungkan ketimbang digarap secara individu. “Cara itu akan membuat produktivitas naik. Cara pikir tradisional (beternak dan bertani secara perseorangan) harus berakhir dan ditinggalkan,” usul mantan Direktur PLN itu.
Siang itu, seminar dipandu Ketua Dewan Guru Besar UI, Biran Affandi, dan sejumlah guru besar seperti Sulastri yang mempertanyakan langkah kebijakan impor kedelai yang diambil Gita. Seminar Dewan Guru Besar ini berlangsung dari 26 November hingga 30 November 2013 dengan mengundang sejumlah tokoh nasional. (DPN)
- Login to post comments