Diskusi membedah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pelarangan PKI dan Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dilangsungkan pada Senin (30/09) di Ruang C 106 Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Acara ini terselengara berkat kerja sama Badan Otonom Pers Suara Mahasiswa UI, Koperasi Mahasiswa FH UI dan Tempo.

Menurut Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 Bedjo Untung, Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 sudah tidak dibutuhkan lagi. Menurut pria yang pernah ditahan di Pulau Buru selama sembilan tahun itu, Tap MPRS No.25 Tahun 1966 tidak sesuai dengan semangat kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat yang tertuang dalam UUD 1945.

Sekertaris YPKP Edi Sugiyanto berusaha menguatkan pendapat Bedjo dengan argumennya bahwa Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 sudah sejak awal gugur demi hukum. Hal ini diyakini Edi karena sejak awal Tap tersebut malah menyebabkan kebimbangan dan stigmatisasi yang mengarah pada diskriminasi sosial di tengah-tengah masyarakat Indonesia selama puluhan tahun.

Jurnalis Tempo Bagja Hidayat justru lebih melihat pada konsekuensi apabila Tap MPRS tentang Pelarangan PKI dicabut. Bagja merasa gamang terhadap pencabutan Tap karena ia tidak melihat pengaruh signifikan terhadap kedudukan hukum di Indonesia.“Apakah saya bisa membuat PKI Perjuangan?” guyon Bagja yang membuat audiens tertawa.

Kegamangan serupa dijelaskan Hari Prasetiyo, akademikus FH UI. Hari sebelumnya menjelaskan bahwa Tap MPRS tidak sama dengan Undang Undang yang bisa dimohonkan pencabutannya ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan secara hierarkis, Tap MPRS mempunyai kedudukan setara dengan Undang Undang Dasar. Oleh karena itu, MPR adalah satu-satunya lembaga yang bisa mencabutnya. “Itu semua tergantung kemauan dari MPR kita untuk mencabut Tap MPRS tersebut,” jelas Hari. Sementara untuk perihal kegamangannya, Hari memberikan contoh bahwa ada penerapan Tap MPRS yang tidak konsekuen karena di era bebas teknologi seperti sekarang, sangat sulit untuk menahan laju pencarian informasi seputar komunisme, marxisme ataupun leninisme di masyarakat. (RIM)